"Marilah Sekarang Kita Pergi ke Betlehem": Merenungkan Natal Melalui Lensa Kritis
Kisah Natal sering kali kita baca sebagai undangan sentimental untuk merenungkan kelahiran Yesus. Namun, melalui berpikir kritis, “Pergi ke Betlehem” menjadi ajakan untuk menggali lebih dalam dimensi teologis, sosial, dan etis dari inkarnasi Allah. Betlehem, baik secara historis maupun simbolis, menantang kita untuk melihat implikasi kelahiran Yesus dalam konteks dunia yang kompleks.
1. Yesus: Inkarnasi Allah yang Menantang Kekuasaan
Kelahiran Yesus bukan sekadar narasi indah, melainkan pernyataan teologis yang radikal. Allah memilih untuk hadir sebagai bayi yang lahir di palungan—tempat sederhana dan tak signifikan—bukan di istana. Ini adalah simbol bahwa Allah berpihak kepada yang lemah dan terpinggirkan. Menurut Berkhof (1996), inkarnasi adalah tindakan Allah yang melampaui kebesaran, di mana keilahian hadir dalam kemanusiaan untuk merangkul penderitaan manusia.
Di dunia yang diatur oleh kapitalisme, individualisme, dan hierarki kekuasaan, inkarnasi Yesus mengkritik obsesi kita terhadap status dan kekayaan. Ladd (2002) menekankan bahwa Yesus datang untuk membalikkan tatanan dunia, mendefinisikan ulang kepemimpinan sebagai pelayanan dan kekuasaan sebagai kerendahan hati.
Pertanyaan Reflektif: Bagaimana kerendahan hati kelahiran Yesus menantang kita untuk menolak narasi dominan tentang kekuasaan dan hak istimewa?
2. Yusuf: Ketaatan yang Melampaui Norma Sosial
Keputusan Yusuf untuk menerima Maria, meskipun ada risiko stigma sosial, menunjukkan keberanian dalam pengambilan keputusan etis. Yusuf memilih ketaatan kepada panggilan Allah daripada tunduk pada ekspektasi budaya. Rumampuk (2019) mencatat bahwa ketaatan Yusuf adalah tindakan iman yang melampaui rasionalitas manusia, karena ia percaya pada pesan ilahi yang bertentangan dengan norma masyarakat kala itu.
Dalam konteks modern, ini mengingatkan kita bahwa menghadapi ketidakadilan sistemik sering kali membutuhkan keberanian moral, bukan sekadar ketaatan pada norma.
Pertanyaan Reflektif: Dalam aspek apa kita turut mempertahankan sistem yang tidak adil karena takut akan penilaian orang lain?
3. Maria: Ketaatan yang Memberdayakan Perempuan
Respon Maria kepada malaikat, “Aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1:38), bukanlah kepasrahan pasif. Maria dengan berani mengambil bagian dalam rencana Allah meskipun ada risiko sosial. Widodo (2021) menegaskan bahwa Maria, sebagai tokoh sentral dalam misteri inkarnasi, merepresentasikan otoritas moral dan spiritual perempuan dalam karya keselamatan Allah.
Dalam konteks patriarkal, peran Maria menegaskan pentingnya suara perempuan dalam kepemimpinan gerejawi dan sosial. Njo (2020) menyoroti bahwa kontribusi Maria seharusnya menjadi model bagi perempuan untuk merespons panggilan Allah dengan keberanian dan kesadaran akan peran strategis mereka.
Pertanyaan Reflektif: Bagaimana komunitas kita dapat mendukung kontribusi perempuan dan menantang bias gender?
4. Orang-Orang Majus: Mengejar Kebenaran di Tengah Misinformasi
Orang Majus, yang dipandu bintang menuju Betlehem, adalah simbol pencarian kebenaran. Berbeda dengan Herodes, yang manipulatif, mereka datang dengan kerendahan hati dan persembahan yang tulus. Gunawan (2020) menyatakan bahwa perjalanan mereka menggambarkan kesediaan manusia untuk mengikuti terang kebenaran meskipun penuh tantangan.
Di era misinformasi dan polarisasi ideologi, kisah Orang Majus menantang kita untuk berpikir kritis dan memilih kebenaran, bukan kepentingan pribadi.
Pertanyaan Reflektif: Bagaimana kita dapat meniru komitmen Orang Majus terhadap kebenaran dan menghindari narasi palsu?
5. Betlehem: Ruang Transformasi dan Subversi
Betlehem, sebuah kota kecil yang tidak signifikan, dipilih sebagai tempat kelahiran Yesus—suatu pilihan yang menantang hierarki sosial. Pranoto (2024) menjelaskan bahwa Betlehem menjadi simbol ruang transformasi, di mana yang kecil menjadi pusat, yang lemah dipulihkan, dan yang tersisih diberi kehormatan.
Betlehem mengingatkan kita bahwa dalam komunitas-komunitas kecil dan sering diabaikan, transformasi yang mendalam dapat terjadi.
Pertanyaan Reflektif: Bagaimana kita menciptakan ruang-ruang transformatif dalam hidup dan komunitas kita?
6. Betlehem dan Tantangan Global Saat Ini
Betlehem tidak hanya relevan secara historis, tetapi juga mengkritik tantangan dunia modern:
a. Ketimpangan Ekonomi: Palungan, simbol kemiskinan, menegur sistem yang melanggengkan ketidakadilan ekonomi. Prasetya dan Viktorahadi (2021) menekankan bahwa kesederhanaan Natal mengingatkan gereja untuk berpihak kepada mereka yang termarjinalkan.
Tindakan Praktis: Bagaimana komunitas kita dapat berkontribusi untuk mengatasi kemiskinan lokal dan mendorong kebijakan yang adil?
b. Migrasi dan Pengungsi: Maria dan Yusuf, yang tidak mendapat tempat di penginapan, mencerminkan realitas para pengungsi. Tan (2017) menyatakan bahwa kisah ini beresonansi kuat dengan krisis migrasi global yang memanggil kita untuk merespons dengan kepedulian dan tindakan nyata.
Tindakan Praktis: Apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung pengungsi dan mereka yang terlantar?
c. Krisis Lingkungan: Kesederhanaan Betlehem mengkritik gaya hidup konsumeris dan mendorong kita kembali pada praktik yang berkelanjutan.
Tindakan Praktis: Bagaimana kita dapat menerapkan praktik ramah lingkungan, terutama di musim Natal ini?
d. Inklusi Budaya: Kehadiran orang Majus dari Timur menegaskan inklusivitas pesan Natal. Pranoto (2024) menegaskan bahwa inkarnasi Kristus adalah tindakan global yang mencakup semua budaya dan bangsa.
Tindakan Praktis: Bagaimana kita dapat mendorong dialog lintas budaya dan menolak praktik eksklusivisme?
Kesimpulan: Menjadikan Betlehem sebagai Realitas Hidup
“Pergi ke Betlehem” bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang merespons panggilan Allah dalam konteks kita hari ini. Yesus, Yusuf, Maria, dan orang Majus mengundang kita untuk:
a. Menolak narasi kekuasaan yang menindas,
b. Bertindak etis meskipun sulit,
c. Mendukung mereka yang terpinggirkan,
d. Dan mengejar kebenaran di tengah kepalsuan.
Natal ini, mari kita membayangkan kembali Betlehem sebagai ruang di mana kasih, keadilan, dan harapan hadir nyata—dimulai dari hati kita, komunitas kita, dan dunia kita.
Daftar Pustaka
Berkhof, L. (1996). Teologi Sistematika 3: Doktrin Kristus. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia.
Gunawan, S. T. (2020). Arti, Tujuan dan Cara Inkarnasi Kristus. Teologia Reformed. Retrieved from teologiareformed.blogspot.com
Ladd, G. E. (2002). Teologi Perjanjian Baru Jilid 1. Bandung: Yayasan Kalam Hidup.
Njo, S. (2020). Peran Maria sebagai Bunda dan Guru Imamat. Studia Philosophica Et Theologica, 20(1).
Pranoto, M. M. (2024). Inkarnasi Allah sebagai Mahkota Sejati Ciptaan. Jurnal Abdiel, 8(2).
Rumampuk, A. (2019). Yesus Kristus: Pra-Inkarnasi, Inkarnasi dan di Sorga. Teologia Reformed.
Widodo, A. (2021). Maria dalam Misteri Kristus. Jurnal Teologi, 10(2).
---